Ajaran Siwa - Buddha

Daftar Isi
Ajaran Siwa - Buddha

Ajaran Siwa - Buddha

Vedavyasa adalah penggubah Kitab Mahabharata. Beliau menggubah lima Sloka dalam kitab Mahabharata yang tersusun menjadi kitab Mahapurana (Purana Utama). Purana ini beliau susun dari naskah asli kitab purana yang dikenal dengan purana Samhita.

Purana memiliki lima karakteristik yang disebut
Panca Laksana yang melukiskan lima hal yang berbeda yaitu :
  1. Sarga (penciptaan alam semesta),
  2. Pratisarga (peleburan & penciptaan kembali),
  3. Manvantara (berbagai periode jaman),
  4. Vamsa (silsilah raja-raja),
  5. Vamsanu Carita (sislsilah umat manusia).
Purana merupakan pengetahuan suci merupakan pengetahuan dasar untuk selanjutnya mempelajari kitab Veda dan Upanisad, karena cerita ini berasal dari pura kala (jaman dahulu) dan merupakan pelengkap (purana) dari pengetahuan Veda.

Menurut Kitab Purana, alam semesta memiliki tiga sifat yaitu:
  1. Satwa: kecerdasan / kemurnian / kehalusan / teratur / kepatuhan / seimbang / terang / kesatuan;
  2. Rajas: dinamis / energi / aktifitas / perubahan / mutasi / hasrat / gairah / kelahiran / penciptaan;
  3. Tamas: yaitu kegelapan / lamban / perusakan / kematian / pengabaian / kecerobohan / penolakan/ pengabaian / halangan dan batasan/ enggan untuk berubah.
Purana pun digolongkan kedalam Sattvika Purana, Rajasika Purana dan Tamasika Purana dan Siva purana merupakan purana yang termasuk dalam tamasika purana, Siva Purana merupakan Purana keempat dari delapan belas mahapurana yang secara umum lebih memulyakan nama Siva dari dari dewa lain atau karisma Sivalah yang banyak terkandung dalam Siva Purana. Menurut tradisi yang tercantum di Vāyaviya Samhitā (the Venkateshvara Press edition), Teks aslinya dikenal sebagai Śaiva Purāna, berisikan 12 Samhitās dan 100,000 ślokas. Oleh Vedavyasa, dipilah dan di padatkan menjadi 24.000 ślokas. Ia mengajarkan kepada muridnya Romaharshana (Lomaharshana).

Terkait dengan proses penciptaan, didalam kitab Siva Purana dinyatakan bahwa pada awal penciptaan alam semesta masih kosong hanya terdapat Brahman (Esensi ilahi) yang bersifat nirguna menyebar dimana-mana. Kemudian air memenuhi semesta Visnu dalam wujud Narayana tidur dilautan maha luas lalu muncullah sekuntum teratai dari pusar beliau dan lahirlah Brahma dari teratai itu. Brahma yang bingung akan keberadaan dirinya dan semesta yang masih kosong menjelajahi tangkai teratai itu namun beliau tidak menemukan sel itu hingga akhirnya menyerah. Suara gaib memerintahkan beliau untuk bermeditasi. Setelah 12 tahun berlalu Visnu yang bertangan empat menampakkan diri dan menyebut Brahma dengan “Nak”. Brahma tidak mengenali Visnu dan Visnu menjelaskan bahwa Brahma tercipta dari tubuh beliau. Brahma tidak puas mendengar hal itu dan bertarung melawan Visnu. Lalu muncullah sebuah linga ( wujud Siva) diantara mereka. Karena heran Brahma dengan wujud angsa menelususri puncak linga sedangkan Visnu dengan wujud babi hutan menelusuri dasarnya. Mereka mencari hingga 4000 tahun, namun tidak berhasil menemukan ujung pangkalnya. Mereka lalu berdoa ditempat semula dan setelah 100 tahun terdengarlah suara suci “OM” dilantunkan, seiring munculnya Siva dengan lima kepala dan sepuluh tangan. Visnu menanyakan tentang keberadaan Siva dan Siva menjelaskan bahwa mereka bertiga merupakan satu kesatuan yang dibagi menjadi tiga. Brahma sebagai pencipta, Visnu pemelihara dan Siva sendiri penghancur, Rudra adalah mahluk yang akan muncul dari tubuh Siva tapi Siva dan Rudra adalah satu. Maka Brahma ditugasi untuk mencipta dan Sivapun menghilang. Brahma dan Visnu kembali ke wujud asalnya.

Persatuan wujud Wisnu dan Siwa tercantum Visnu Purana, Bahgavata Purana(4.30.23, 5.17.22-23, 10.14.19), Brahma-Samhita 5.45, dan Siva Purana menyebutkan pada saat terbangunnya Wisnu menjadi Brahma saat menciptakan dunia dan Siwa saat melebur kembali, Siwa juga di katakana sebagai Manifestasi Wisnu dalama bhagavata Purana, dan dalam Siva purana Siwa berperan dalam menciptakan, memeliharan dan melebur dunia dan dikatakan bahawa Baik Wisnu maupun Siwa berasal dari manifestasi Siwa. Namun perpaduan yang tampak terlihat adalah dalam bentuk Harihara sebagai bentuk Wisnu(Hari) dan Shiva(Hara) dua bentuk ini juga dinamakan Harirudra yang muncul dalam Epik Mahabharata dan juga sebagai Mahabalesiwara atau Kekuatan dari segala Kekuatan pada kisah dimana Rahwana mendapatkan anugrah Siva lingga dari Siva dengan syarat ia harus membawa kemanapun ia pergi. Saat ia hampir dekat dengan daerah Deoghar di Bihar ia berhenti sejenak untuk melepas lela ia berhenti sejenak untuk membersihkan diri dan bertemu dengan Winsu yang tengah menyamar menjadi seorang pertapa dan menitipkan sejenak lingga itu. Setelah Rahwana Pergi. Kemudian Wisnu menaruhnya ditanah dan melenyapkannya ketanah. Saat Rahwana kembali Ia tidak dapat memindahkan Lingga itu dan tetap demikian samapai dengan saat ini. Demikian dari sudut Purana dan Samhita.

Nusantara
Awal mula perpaduan Agama Siwa Buddha tidak lepas dari sejarah Kerajaan Mataram kuno yang terdiri dua dinasti, yakni Wangsa Sanjaya dan Wangsa Syailendra. Wangsa Sanjaya yang bercorak Hindu didirikan oleh Sanjaya pada tahun 732. Beberapa saat kemudian, Wangsa Syailendra yang bercorak Buddha Mahayana didirikan oleh Bhanu pada tahun 752. Kedua wangsa ini berkuasa berdampingan secara damai. Nama Mataram sendiri pertama kali disebut pada prasasti yang ditulis di masa raja Balitung.

Wangsa Syailendra
Wangsa Syailendra diduga berasal dari daratan Indocina (sekarang Thailand dan Kamboja). Wangsa ini bercorak Buddha Mahayana, didirikan oleh Bhanu pada tahun 752. Pada awal era Mataram Kuno, Wangsa Syailendra cukup dominan dibanding Wangsa Sanjaya. Pada masa pemerintahan raja Indra (782-812), Syailendra mengadakan ekspedisi perdagangan ke Sriwijaya. Ia juga melakukan perkawinan politik: puteranya, Samaratungga, dinikahkan dengan Dewi Tara, puteri raja Sriwijaya. Pada tahun 790, Syailendra menyerang dan mengalahkan Chenla (Kamboja), kemudian sempat berkuasa di sana selama beberapa tahun. Peninggalan terbesar Wangsa Syailendra adalah Candi Borobudur yang selesai dibangun pada masa pemerintahan raja Samaratungga (812-833).

Di setiap tingkatan Borobudur dipahat relief-relief pada dinding candi. Relief-relief ini dibaca sesuai arah jarum jam atau disebut mapradaksina dalam bahasa Jawa Kuna yang berasal dari bahasa Sansekerta daksina yang artinya ialah timur. Relief-relief ini bermacam-macam isi ceritanya, antara lain ada relief-relief tentang wiracarita Ramayana. Ada pula relief-relief cerita jātaka.

Wangsa Sanjaya
Wangsa Sanjaya didirikan oleh Raja Sanjaya/ Rakeyan Jamri / Prabu Harisdama, cicit Wretikandayun, raja kerajaan Galuh pertama. Pada saat menjadi penguasa Kerajaan Sunda ia dikenal dengan nama Prabu Harisdarma dan kemudian setelah menguasai Kerajaan Galuh ia lebih dikenal dengan Sanjaya.

Ibu dari Sanjaya adalah SANAHA, cucu Maharani SIMA dari Kalingga, di Jepara.
Ayah dari Sanjaya adalah Bratasenawa / SENA / SANNA, Raja Galuh ketiga. Sena adalah cucu Wretikandayun dari putera bungsunya, Mandiminyak, raja Galuh kedua (702-709 M). Sena di tahun 716 M dilengserkan dari tahta Galuh oleh PURBASORA.

Purbasora dan Sena sebenarnya adalah saudara satu ibu, tapi lain ayah. Sena dan keluarganya menyelamatkan diri ke Pakuan, pusat kerajaan Sunda, dan meminta pertolongan pada Raja Tarusbawa. Ironis sekali, Wretikandayun, kakek Sena, sebelumnya menuntut Tarusbawa untuk memisahkan Kerajaan Galuh dari Tarumanagara, sehingga kerajaan Tarumanagara terpecah dua menjadi kerajaan Sunda dan kerajaan Galuh'

Di kemudian hari, Sanjaya, yang merupakan penerus Kerajaan Galuh yang sah, menyerang Galuh dengan bantuan Tarusbawa untuk melengserkan Purbasora. Setelah itu ia menjadi raja Kerajaan Sunda dan Kerajaan Galuh (723 - 732M), sehingga bekas wilayah kekuasaan Tarumanagara dapat disatukan kembali dalam satu kerajaan, yaitu Kerajaan Sunda Galuh.

Sebagai ahli waris Kalingga, Sanjaya kemudian juga menjadi penguasa Kalingga Utara yang disebut Bumi Mataram dalam tahun 732 M[. Dengan kata lain, Sanjaya adalah penguasa Sunda, Galuh dan Kalingga / Kerajaan Mataram (Hindu). Pada masa ini telah terbentuk semacam ikatan kekerabatan di antara kerajaan-kerajaan tersebut. Hal ini mempengaruhi berbagai keputusan politik pada masa-masa selanjutnya (misalnya saat penaklukan Nusantara oleh Majapahit).

Kekuasaan di Jawa Barat lalu diserahkan kepada putera Sanjaya dari Tejakencana, putri Raja Tarusbawa dari kerajaan Sunda, yaitu Tamperan atau Rakeyan Panaraban sedangkan penerus Sanjaya di Kerajaan Mataram adalah Rakai Panangkaran, putera Sanjaya dari Sudiwara, puteri Dewasinga raja Kalingga Selatan atau Bumi Sambara. Jadi Rakai Panangkaran dan Rakeyan Panaraban / Tamperan adalah saudara seayah tapi lain ibu.

Pemimpin Mataram selanjutnya adalah, berturut-turut, Rakai Panunggalan, Rakai Warak, dan Rakai Garung. Rakai Garung memiliki anak yaitu Rakai Pikatan.

Rakai Pikatan, yang waktu itu menjadi pangeran Wangsa Sanjaya, menikah dengan Pramodhawardhani (833-856), puteri raja Wangsa Syailendara Samaratungga. Sejak itu pengaruh Sanjaya yang bercorak Hindu mulai dominan di Mataram, menggantikan Agama Buddha. Rakai Pikatan bahkan mendepak Raja Balaputradewa (putera Samaratungga dan Dewi Tara). Tahun 850, era Wangsa Syailendra berakhir yang ditandai dengan larinya Balaputradewa ke Sriwijaya.

Pada tahun 910, Raja Tulodong mendirikan Candi Prambanan. Prambanan merupakan kompleks candi Hindu terbesar di Asia Tenggara. Pada masa ini, ditulis karya sastra Ramayana dalam Bahasa Kawi. Tahun 928, Raja Mpu Sindok memindahkan istana Kerajaan Mataram dari Jawa Tengah ke Jawa Timur (Medang). Perpindahan ini diduga akibat letusan Gunung Merapi, atau mendapat serangan dari Sriwijaya.

Empu Sendok adalah raja Mataram terkahir, Mpu Sendok(929-947M) menghasilkan dua buku yang menguraikan ajaran Mahayana, yaitu 'Sanghyang Kamahayan Mantrayana' yang berisi ajaran yang ditujukan kepada bhikkhu yang sedang ditasbihkan, dan 'Sanghyang Kamahayanikan' yang berisi kumpulan pengajaran bagaimana orang dapat mencapai kelepasan. Pokok ajaran dalam Sanghyang Kamahayanikan adalah menunjukan bahwa bentuk yang bermacam- macam dari bentuk pelepasan pada dasarnya adalah sama. Bagi penulis Sanghyang Kamahayanikan tidaklah terlalu sulit untuk mengidentifikasikan Siwa dengan Buddha dan menyebutnya "Siwa-Buddha", bukan lagi Siwa atau Buddha, tetapi Siwa-Buddha sebagai satu Tuhan.

Pada jaman pemerintahan raja Krtanagara, raja Singasari terakhir. Penyatuan Siwa dan Buddha adalah juga karena toleransinya yang sangat besar dan juga alasan yang bersifat politik, yaitu untuk memperkuat diri dalam menghadapi musuh dari Cina, Kubilai Khan.Untuk mempertemukan kedua agama itu, Krtanagara membuat candi Siwa-Buddha yaitu Candi Jawi di Prigen dan Candi Singasari di dekat kota Malang.

Pembaruan agama Siwa-Buddha pada jaman Majapahit antara lain terlihat pada cara mendharmakan raja dan keluarganya yang wafat pada 2 candi yang berbeda sifat keagamaannya. Hal ini dapat dilihat pada raja pertama Majapahit, yaitu Kertarajasa yang didharmakan di Candi Sumberjati (Simping) sebagai wujud siwa (Siwawimbha) dan di Antahpura sebagai Buddha; atau raja kedua Majapahit, yaitu Raja Jayabaya yang didharmakan di Shila Ptak sebagai Wisnu dan di Sukhalila sebagai Buddha. Hal ini memperlihatkan bahwa kepercayaan dimana Kenyataan Tertinggi dalam agama Siwa maupun Buddha tidak berbeda.

Agama Siwa yang berkembang dan dipeluk oleh raja-raja Majapahit adalah Siwasiddhanta (Siddantatapaksa) yang mulai berkembang di Jawa Timur pada masa Raja Sindok (abad X).

Sumber ajarannya adalah Kitab Tutur (Smrti), dan yang tertua adalah Tutur Bhwanakosa yang disusun pada jaman Mpu Sindok, sedang yang termuda dan terpanjang adalah Tutur Jnanasiddhanta yang disusun pada jaman Majapahit. Ajaran agama ini sangat dipegaruhi oleh Saiwa Upanisad, Vedanta dan Samkhya. Kenyataan Tertinggi agama ini disebut Paramasiwa yang disamakan dengan suku Kata suci OM.

Sebagai dewa tertinggi Siwa mempunyai 3 hakekat (tattwa) yaitu:
  1. Paramasiwa-tattwa yang bersifat tak terwujud (niskala)
  2. Sadasiwa-taattwa yang bersifat berwujud-tak berwujud (sanakala-niskala)
  3. Siwa-tattwa bersifat berwujud (sakala)
Selain agama Siwasiddhanta dikenal pula aliran Siwa Bhairawa yang muncul sejak pemerintahan Raja Jayabhaya dari Kediri. Beberapa pejabat pemerintahan Majapahit memeluk agama ini. Agama ini adalah aliran yang memuja Siwa sebagai Bhairawa. Di India Selatan mungkin dikenal sebagai aliran Kapalika. Pemujanya melakukan tapa yang sangat keras, seperti tinggal di kuburan dan memakan daging dan darah manusia (mahavrata). Disamping agama Siwa, terdapat pula agama Waisnawa yang memuja dewa Wisnu, yang dalam agama Siwa, Wisnu hanya dipuja sebagai dewa pelindung (istadewata).

Berdasarkan sumber tertulis, raja-raja Majapahit pada umumnya beragama Siwa dari aliran Siwasiddhanta kecuali Tribuwanattungadewi (ibunda Hayam Wuruk) yang beragama Buddha Mahayana. Walaupun begitu agama Siwa dan agama Buddha tetap menjadi agama resmi kerajaan hingga akhir tahun 1447. Pejabat resmi keagamaan pada masa pemerintahan Raden Wijaya (Krtarajasa) ada 2 pejabat tinggi Siwa dan Buddha, yaitu Dharmadyaksa ring Kasaiwan dan Dharmadyaksa ring Kasogatan, kemudian 5 pejabat Siwa dibawahnya yang disebut Dharmapapati atau Dharmadihikarana.

Selain itu terdapat pula para agamawan yang mempunyai peranan penting dilingkungan istana yang disebut tripaksa yaitu rsi-saiwa-sagata (berkelompok 3); dan berkelompok 4 disebut catur dwija yaitu mahabrahmana (wipra)-saiwa-sogata-rsi.

Tidak banyak yang mengetahui bahwa saat itu masyarakat Majapahit sudah amat plural. Hindu sendiri terdiri dari tiga agama besar. Agama Brahma, agama Wisnu, dan agama Syiwa. Lalu ada Buddha, Tantrayana, Syiwa Buddha dan Buddha Bhairawa. Semua mendapat tempat di Majapahit tanpa diskriminasi. Penganut animisme juga banyak. Oleh pemeluk agama lain, mereka tidak dianggap kafir sebab inilah agama asli warisan nenek moyang. Kerajaan besar ini amat toleran dengan keberagamaan karena belajar dari kekonyolan kerajaan terdahulu. Pelajaran dari masa lalui lah yang membuat Majapahit menjadi negara besar, terbuka dan toleran terhadap semua ideologi, bahkan terhadap agama yang amat baru dan aneh.

Di era Majapahit, Eropa sudah terbagi menjadi berbagai kerajaan, sebagian masih eksis hingga kini. Agama Katolik Roma yang berumur 14 abad sedang mengalami puncak kejayaan. Islam yang lahir abad ke-7 juga tumbuh pesat. Kemaharajaan Ottoman menunjukkan hegemoninya di Timur Tengah, Afrika Utara, bahkan sebagian Eropa. Tarekat Rahib Katolik banyak berdiri. Saat itulah seorang rahib sempat berkunjung ke Majapahit. Orang bule dengan agama baru yang aneh ini di Majapahit diterima dengan baik. Setelah kunjungan selesai, ia dibiarkan pergi.

Siwa-Buddha di Bali
Di bali, Siwa-Buddha dan Wainawa dilebur menjadi agama Hindu yang ada sekarang di bali oleh Mpu Kuturan.

Sementara sejarah keagamaan orang Bali sama dengan orang Tibet. Sebelum masuk Buddha, orang Tibet memiliki agama Bon. Agama Buddha dan Bon, akhirnya menyatu seperti Siwa-Buddha di Bali.

Peristiwa itu terjadi pada masa pemerintahan Raja suami istri Gunaprya Dharmapatni/Udayana Warmadewa yang bertahta di Bali pada tahun caka 910 sampai dengan 988 atau tahun 988M sampai dengan tahun 1011M. Pada masa itu penduduk pulau Bali adalah mayoritas orang Bali Aga (orang Bali asli, selanjutnya pendatang dari Jawa disebut orang Bali, jadi ada orang Bali Aga dan Bali) yang sudah sejak lama memeluk dan menganut ajaran agama orang-orang Indu dari berbagai “paksa”(sekte). Yang terbanyak adalah dari sekte Indra disampung yang menganut sekte Bayu, Khala, Brahma, Wisnu, dan Syambhu. Dengan demikian di Bali terdapat 6 sekte yang dalam pelaksanaannya terdapat perbedaan-perbedaan satu dengan yang lainnya. Perbedaan-perbedaan itu akhirnya menimbulkan pertentangan antara satu sekte dengan sekte yang lainnya yang menyebabkan timbulnya ketegangan dan sengketa didalam tubuh masyarakat Bali Aga.

Inilah yang merupakan salah satu faktor penyebab terjadinya gangguan keamanan dan ketertiban di masyarakat yang membawa dampak negative pada hampir seluruh aspek kehidupan masyarakat. Akibat yang bersifat negative ini bukan saja menimpa desa bersangkutan, tetapi meluas sampai pada pemerintahan kerajaan sehingga roda pemerintahan menjadi kurang lancar dan terganggu. Dalam kondisi seperti itu, Raja Gunaprya Dharmapatni/Udayana Warmadewa perlu mendatangkan rohaniawan dari Jawa Timur yang oleh Gunaprya Dharmapatni sudah dikenal sejak dahulu semasih beliau ada di Jawa Timur. Oleh karena itu Raja Gunaprya Dharmapatni/Udayana Warmadewa bersekepatan untuk mendatangkan 4 orang Brahmana bersaudara yaitu:
  1. Mpu Semeru, dari sekte Ciwa tiba di Bali pada hari jumat Kliwon, wuku Pujut, bertepatan dengan hari Purnamaning Kawolu, candra sengkala jadma siratmaya muka yaitu tahun caka 921 (999M) lalu berparhyangan di Besakih.
  2. Mpu Ghana, penganut aliran Gnanapatya tiba di Bali pada hari Senin Kliwon, wuku Kuningan tanggal 7 tahun caka 922 (1000M), lalu berparhyangan di Gelgel
  3. Mpu Kuturan, pemeluk agama Budha dari aliran Mahayana tiba di Bali pada hari Rabu Kliwon wuku pahang, maduraksa (tanggal ping 6), candra sengkala agni suku babahan atau tahun caka 923 (1001M), selanjutnya berparhyangan di Cilayukti (Padang)
  4. Mpu Gnijaya, pemeluk Brahmaisme tiba di Bali pada hari Kamis Umanis, wuku Dungulan, bertepatan sasih kadasa, prati padha cukla (tanggal 1), candra sengkala mukaa dikwitangcu (tahun caka 928 atau 1006M) lalu berparhyangan di bukit Bisbis (Lempuyang)
Keempat orang Brahmana dari Jawa Timur bersaudara 5 orang, adiknya yang bungsu bernama Mpu Bharadah ditinggalkan di Jawa Timur dengan berparhyangan di Lemahtulis, Pajarakan. Kelima orang Brahmana ini lazim disebut Panca Pandita atau “Panca Tirtha” karena beliau telah melaksanakan upacara “dwijati” yaitu menjalankan dharma “Kabrahmanan”. Adapun Mpu Semeru yang berparhyangan di Besakih dan Mpu Ghana yang berparhyangan di Gelgel, karena beliau “Nyukla Brahmacari” maka keduanya tidak mengadakan keturunan. Sedangkan Mpu Kuturan yang berparhyangan di Cilayukti sebagai “Swala Brahmacari” mempunyai seorang putri bernama Dyah Ratna Manggali, yang ditinggalkan di Jawa bersama ibunya (Calon Arang, aku tambahin) yang kemudian kawin dengan salah satu putera Mpu Bharadah yaitu Mpu Bahula.

Tentang adanya Mpu Kuturan di Bali dapat diketahui dari 7 prasasti peninggalan purbakala, dimana disebutkan bahwa Mpu Kuturan di Bali berpangkat “Senapati”, dan prasasti-prasasti tersebut kini masih terdapat:
  1. Di desa Srai, kecamatan Kintamani, kabupaten daerah tinggkat II Bangli, bertahun Caka 915 atau 993M
  2. Di desa Batur, kecamatan Kintamani, kabupaten daerah tingkat II Bangli, bertahun caka 933 atau 1011M
  3. Di desa Sambiran, kecamatan Tejakula kabupaten tingkat II Buleleng, bertahun caka 938 atau 1016M
  4. Di desa Batuan, kecamatan Sukawati kabupaten tingkat II Gianyar bertahun caka 944 (1022M)
  5. Di desa Ujung Kabupatendaerah tingkat II Karangasem bertahun caka 962 (1040M)
  6. Di Pura Kehen Bangli, kabupaten tingkat II Bangli, karena sudah rusak tidak tampak tahunnya
  7. Di desa Buahan, kecamatan Kintamani, kabupaten daerah tingkat II Bangli bertahun caka 947 (1025M)
Sekian banyaknya prasasti sebagai fakta sejarah yang mencantumkan nama Mpu Kuturan sebagai Senapati di Bali dalam tahun-tahun tersebut dan prasasti-prasasti itu merupakan firman raja-raja yang bertahta di Bali yaitu:
  1. Raja Gunaprya Dharmapatni/Udayana Warmadewa yang bertahta dari tahun caka 910 sampai dengan 933(988-1011M) menerbitkan prasasti pertama dan kedua
  2. Cri Adnyadani yang bertahta dari tahun caka 933 sampai 928 (1011-1016M) menerbitkan prasasti yang ketiga
  3. Cri Dharmawangsa Wardhana Marakatopangkaja Stano Tunggadewa, yang bertahta dari tahun caka 938 sampai 962 (1016-1040M) menerbitkan prasasti keempat sampai ketujuh
Dari adanya lontar Calon Arang dapat diketahui bahwa Mpu Kuturan berasal dari Jawa Timur yaitu di suatu tempat bernama Girah, dan disanalah beliau pernah berkuasa sebagai seorang Raja. Beliau berangkat dan menetap di Bali didorong oleh tiga factor penyebab yaitu:
  1. Memenuhi permintaan raja suami istri yang disebut diatas, yang memerlukan keahlian beliau dalam bidang adapt dan agama untuk merehabilitasi dan mestabilisasi timbulnya ketengangan-ketegangan dalam tubuh masyarakat Bali Aga
  2. Karena bertentangan dengan istri beliau yang menguasai magic. Sebab itu istri beliau ditinggalkan di Jawa yang dijuluki “Walu Natheng Girah” atau “Rangda Natheng Girah” (jandanya Raja Girah)
  3. Sebagai bhiksuka atau Sanyasa, beliau lebih mengutamakan ajaran dharma dari pada kepentingan pribadi
Kesempatan yang baik itu beliau pergunakan untuk untuk datang ke Bali, karena dorongan kewajiban menyebarkan dharma. Selain Senapati, beliau juga diangkat sebagai sebagai ketua Majelis ”Pakira kiran I Jro makabehan:, yang beranggotakan sekalian senapati dan para pandita Ciwa dan Budha. Dalan suatu rapat majelis yang diadakan di Bataanyar yang dihadiri oleh unsure tiga kekuatan pada saat itu, yaitu
  • Dari pihak Budha Mahayana diwakili oleh Mpu Kuturan yang juga sebagai ketua sidang
  • Dari pihak Ciwa diwakili oleh pemuka Ciwa dari Jawa
  • Dari pihak 6 sekte yang pemukanya adalah orang Bali Aga
Dalam rapat majelis tersebut Mpu Kuturan membahas bagaimana menyederhanakan keagamaan di Bali, yg terdiri dari berbagai aliran. Tatkala itu semua hadirin setuju untuk menegakkan paham Tri Murti (Brahma,Wisnu,Ciwa) untuk menjadi inti keagamaan di Bali dan yang layak dianggap sebagai perwujudan atau manifestasi dari Sang Hyang Widhi Wasa.

Konsesus yang tercapai pada waktu itu menjadi keputusan pemerintah kerajaan, dimana ditetapkan bahwa semua aliran di Bali ditampung dalam satu wadah yang disebut “Ciwa Budha” sebagai persenyawaan Ciwa dan Budha. Semenjak itu penganut Ciwa Budha harus mendirikan tiga buah bangunan suci (pura) untuk memuja Sang Hyang Widhi Wasa dalam perwujudannya yang masing-masing bernama
  1. Pura Desa Bale Agung untuk memuja kemuliaan Bhatara Brahma sebagai perwujudan dari Sang Hyang Widhi Wasa (tuhan)
  2. Pura Puseh untuk memuja kemulian Wisnu sebagai perwujudan dari Sang Hyang Widhi Wasa
  3. Pura Dalem untuk memuja kemuliaan Bhatari Durga yaitu caktinya Bhatara Ciwa sebagai perwujudan dari Sang Hyang Widhi Wasa
Ketiga pura tersebut disebut Pura “Kahyangan Tiga” yang menjadi lambang persatuan umat Ciwa Budha di Bali. Dalam Samuan Tiga juga dilahirkan suatu organisasi “Desa Pakraman” yang lebih dikenal sebagai “desa adapt”, dan sejak saat itu berbagai perubahan diciptakan oleh Mpu Kuturan, baik dalam bidang politik, social, dan spiritual. Jika sebelum keempat Brahmana tsb semua prasasti ditulis dengan menggunakan huruf Bali Kuna, maka sesudah itu mulai ditulis dengan bahasa Jawa Kuna (Kawi). Akhirnya di bekas tempat rapat itu dibangun sebuah pura yang diberi nama Pura Samuan Tiga.

Di Bali, Salah satu nama Tuhan adalah Sang Hyang Mbang atau Mahasunyi yang dalam agama Buddha ada istilah Sunyata. Tahun baru di Bali dirayakan dengan sunyi (sunyata). Di Bali Selatan, ada Pura Sakenan yang puncak piodalannya jatuh pada Hari Raya Kuningan. Sementara Sakenan berasal dari kata Sakyamuni. Sakyamuni nama asli Sidartha Gautama.

Mpu Kuturan sendiri adalah pendeta Buddha yang peninggalannya adalah Meru, hasil modifikasi Pagoda umat Buddha.

Pada Abad ke-16, Bali mengalami masa kejayaan di bawah Raja Dalem Waturenggong. Dalam masa kerajaan itu ada penasihat spiritual yaitu pendeta Siwa-Buddha. Peninggalannya berupa Padmasana. Jejak-jejak kebuddhaan yang lain berupa tempat pemujaan Buddha di sejumlah pura di Bali.

Sumber : cakepane.blogspot.com